Cerpen : Jogjakarta, hatiku dicuri


*kriiiing* *kriiiiing* *kriiing*
Suara berisik itu berulang-ulang mengejutkan ku dari mimpi ku. Ku raih jam beker itu dan ku tekan tombol off alarmnya. Benar-benar sangat mengganggu. Baru saja aku menikmati mimpi indah bertemu dengan ibunda ku di surga sana. Hoaaam. Masih sangat-sangat mengantuk dan ini adalah pagi yang lumayan dingin menggerogoti tulang-tulang ku.

“Astaga jam berapa ini?”
Aku tersentak teringat hari ini hari senin. Perkuliahan dengan dosen killer. Dengan sigap segera ku bergegas ke kamar mandi bersiap berangkat kuliah.
Suasana kampus telah sepi. Ya wajarlah mahasiswanya udah berada dalam kelas masing-masing. Hanya tinggal aku yang berlarian menuju kelas karena terlambat. Terlambat sih udah jadi kebiasaan ku saat kuliah sepagi ini.  Ya jam 8 itu terlalu pagi untuk ku.
*tok-tok-tok*
Ku ketuk pintu kelas yang tertutup rapat itu sembari mendorongnya dengan perlahan.
“Maaf bu, saya terlambat. Apakah masih boleh masuk ?”
Sial, bodoh sekali aku ini menanyakan masih boleh masuk apa tidak. Jelas-jelas pasti akan di usir. Karna udah terlanjur ya pasang muka melas aja deh.
“Masuk cepat, duduk. Sebentar lagi kita mulai kuis!”
Whatt!! Nggakk salah dengar nih. Abis mimpi apa tu dosen kok tumben-tumbenan baik gini. Abis dapat jatah kali dari suaminya. Haaaha. Aku berjalan menuju kursi deretan belakang. Karna hanya disitulah kursi kosong yang masih tersisa.
“Anak-anak cepat keluarkan kertas selembar dan alat tulis kalian. Tidak ada apapun kecuali pena dan 1 lembar kertas di atas meja. Semua buku dan tas kumpulkan ke depan.”
Ini kuis dadakan atau udah pernah diberi tahu sebelumnya ya? Ya ampun aku benar-benar lupa. Ya sudah pasrah aja lah sama takdir tuhan. Yang kaya gini nih yang namanya perang badar itu menurut aku.
Bu Rita berjalan membagikan lembaran soal sekeliling kelas. Sesaat kulirik teman sebelah kanan. Ya ampun si Joko. Sial amat sih kenapa tadi aku duduk di sebelah Joko yang IQnya guling-guling ini. Daripada nyontek sama dia mending nggak usah dijawab sama sekali deh. Menyerah dengan teman disebelah kanan ku lirik sebelah kiriku. Wew. Anak dari kelas mana ini. Aku belum pernah liat sebelumnya. Penampilannya biasa aja. Rambut lumayan panjang dengan gaya seperti Ariel NOAH. Kulitnya sawo mengkal. Dari segi fisik sih sepertinya otaknya lumayan bekerja ini. Ia tersenyum saat ku tatap matanya. Ya udah aku balas aja senyumannya agar terkesan ramah kepada sasaran.
“Eky, kamu udah dapat lembar soal kan ?”
“Iya bu, udah.”
“Lalu kenapa masih lirik kiri kanan. Kerjakan cepat. Dan jangan menyontek. Saya pastikan kamu gagal dimata kuliah ini jika ketahuan menyontek.”
“Iya bu.”
Baru aja tadi aku puji ini dosen baik, tuh jinnya datang lagi. Ku baca soal-soal yang ada dihadapanku. Ya ampun ini apa jawabannya ya. Sumpah nggak tau banget. Ku baca soal demi soal. Duarrr. Bukan Bu Rita namanya kalo nggak ngasih soal sulit. Oke deh mulai beraksi. Ku lirik sebelah kiri ku lagi. Tertulis namanya Hanif Rahmatullah . Tapi kok NIMnya nggak diisi ya. Masa udah semester tua begini belum hapal NIM juga. Bodoh amat aah. Yang penting ada goresan pena di lembarannya yang menandakan dia tau jawabannya.
Ku lihat no 1 sampai 5 telah terisi penuh kalimat-kalimat panjang. Buset ini kereta api atau bus mini. Panjang amat jawabannya. Untung aja tulisannya rapi. Serapi tulisan Soekarno di naskah teks proklamasi. Ya ampun bikin ketawa dalam hati kalo meratiin lama-lama tulisan ini cowok. Jadul amat bro.
Dengan cepat ku salin jawabannya ke lembar jawabanku. Tak lama kemudian sepertinya ia menyadari bahwa aku telah mencuri isi otaknya dan menuangkannya di kertasku. Ia melirik ke arah ku sekarang. Waduh jangan sampe deh ini cowok ngadu. Amin ya allah. Ku lemparkan senyuman terindah yang aku miliki kepadanya. Dan alhasil ia pun membalas senyumanku. Manis juga senyuman ini cowok. Ada lesung pipitnya lagi di sebelah kanan. Aku anggap senyumannya itu kode kalo aku boleh melanjutkan menyontek lembaran jawabannya. Horee.
“Waktu habis. Silahkan kumpulkan kertas kalian ke depan.”
Ya ampun cepat amat. 3 soal lagi belum terjawab ini. Ya sudah lah ku kumpulkan saja. Semoga aja deh itu jawaban dari si cowok manis ada yang benar. Syukur-syukur benar semua.
“Kita lanjutkan pelajaran. Buka modul BAB 3. Saya akan jelaskan hari ini.”
Aku membuka modulku yang super tebal itu dengan enggan. Ku buka-buka lembarannya mencari halaman yang tertulis BAB 3 di pojok atasnya, tapi kok sulit amat ya nggak ketemu-ketemu.
“Ehm, boleh liat modulnya. Saya mahasiswa pindahan. Belum punya modul.”
“Ooh, iya iya nih. Dari tadi aku cari nggak ketemu halamannya. Males aah. Kamu aja yang belajar.”
Ku sodorkan modulku kepadanya. Nggak apa-apa aku belajar tanpa modul, toh selama ini lulus terus kok. Jadi cowok ini anak pindahan toh, pantesan aku baru liat. Pindahan dari mana ya? Pindahan kelas atau pindahan dari kampus lain. Kalo di liat dari gayanya sih bukan anak kampus ini. Penasaran aku dibuatnya. Kepengen nanya sih tapi kalo sampe suara ku kedengaran sama dosen killer ini bisa mampus aku. Kutahan rasa ingin tahuku beberapa menit sampai perkuliahan usai.
Menunggu jam dinding menunjukkan pukul 09.45 itu berasa lama sekali. Bosan mendengarkan ocehan dari Bu Rita, ku nyalakan musik player di smartphone ku. Ya dari pada belajar enakan dengerin musik kaya gini. Tak terasa ku lihat Bu Rita mengemasi buku-buku tuanya yang ia letakkan sebelumnya di atas meja. Ini pertanda kalo perkuliahan telah usai. Langsung aku bergegas ke luar ruangan.
“Ky, tunggu.”
Aku menoleh mendengar seseorang memanggil nama ku. Itu Desy sahabat ku di kampus.
“Kamu pasti bangun kesiangan kan ? Telat terus belajar sama Bu Rita, ntar kamu digagalin loh.”
“Iya lupa, lupa bangun. Keenakan tidur, Des. Haaaha. Tadi malam aku habis chattingan sama Anto. Kamu ingat Anto ? Yang pernah aku ceritakan dulu. Cinta pertama ku. “
“Laah kok bisa. Gimana ceritanya ?”
“Aku juga nggak tau kenapa bisa. Aku bosan main game lalu aku online. Eeh nggak lama ada chat masuk. Dari dia. Senangnya.”
“Terus ngomongin apaan di chat ?”
“Yaa dia nanya-nanya kuliah ku gimana. Dan dia cerita kalau dia udah putus sama pacarnya dan sekarang dia galau gitu jadinya. Senang sekali aku dengarnya. Berartikan ada kesempatan buat aku untuk balikan sama dia kan, Des?”
“Hmm, kalo aku pikir-pikir sih jangan terlalu cepat dulu. Biarin aja kita liat gimana sikapnya. Lagian kamu kaya kucing di kasih ikan asin aja langsung mau. Malu-malu dikit napa sih.”
“Heheee iya iya, Des. Slow Santai Bro.”
Kami berdua duduk di meja deretan paling depan di kantin yang penuh sesak itu. Padahal masih pagi tapi kantin udah rame aja. Aku bertanya kepada Desy dia mau makan apa lalu ku pesan makanan kami. Ketika aku berjalan menuju kembali ke meja, si cowok baru tadi menghampiri ku.
“Hai, boleh ikut gabung nggak. Saya belum punya teman baru.”
“Hai juga. Ya boleh-boleh aja sih. Yuuk.”
Ia mengikuti ku berjalan menuju meja. Ku lihat Desy melirik ku dengan arti bertanya siapa ini. Sebelum ku jawab tatapan matanya. Si cowok itu memperkenalkan dirinya kepada Desy.
“Hai, namaku Hanif. Mahasiswa baru. Baru pindah dari Jogja.”
“Hai juga, Desy.”
Cowok itu tersenyum setelah berjabatan tangan dengan Desy. Aku suka melihat senyumannya itu. Pas sekali dengan ukiran mata dan alisnya yang begitu tajam jika menatap seseorang. Ia menyodorkan tangannya ke arah ku.
“Kita belum berkenalan kan ?”
“Dezkrina. Panggil aja Eky.”
Gila ini tangan cowok halus amat. Tangan ku yang perempuan gini aja kalah halus. Pasti anak mami ini. Atau anak keturunan keraton di Jogja sana. Tapi kenapa pindah ke kota terpencil ini. Mungkin ayahnya melarikan diri karena takut ketangkap KPK. Mungkin aja kan korupsi bukan hanya di kantoran aja tapi udah merembet sampai ke keraton-keraton. Waah sungguh sangat bahaya  negara ini sekarang.
Sejak saat itu Hanif sering bergabung bersama ku dan Desy kemana pun kami bergerak di kampus ini. Ini cowok kenapa nggak bergaul sesama cowok. Kenapa nempel mulu sama kami berdua. Jangan-jangan gay ini.
Tapi walaupun demikian aku merasa sangat nyaman dan nyambung ketika berbincang bersamanya. Orangnya lucu dan asyik. Penuh dengan kecerian. Kalo di lihat dari segi fisik jauh dari ke perempuanan. Badannya kekar dan agamanya juga sangat bagus. Aku sering melihatnya di sekitar mushola ketika waktu solat tiba. Sekali sekali ku lihat ada juga ia bergaul dengan rombongan cowok-cowok di kampus.
Hari ini genap sudah seminggu Hanif tak pernah memperlihatkan senyumannya. Bukan hanya senyumannya yang tak ku lihat, namun sosoknya tak pernah kelihatan lagi seminggu ini di kampus. Tak ada salah satu teman sekelas ku yang mengetahui keberadaanya. Aku merasa sedikit gelisah. Walaupun selama ini aku merasa risih ia dekat dengan ku. Tapi ada sedikit rasa kehilangan juga di saat ia tak ada.
Tiga hari berikutnya ketika perkuliahan telah di mulai. Tiba-tiba ada seseorang yang mengetuk pintu kelas. Pak Panda berhenti menjelaskan dan semua siswanya pun menoleh ke arah pintu yang bersuara tadi. Perlahan kepala muncul dari balik pintu itu. Ku lihat sepasang mata tajam dengan alis yang begitu tebal yang begitu aku kenal di raut wajah pria itu. Haah. Itu dia si Hanif akhirnya kuliah juga dia. Kemana saja dia seminggu ini. Pasti nantinya aku yang direpotkan oleh pertanyaan-pertanyaannya.
Kebetulan bangku kosong tepat berada di sebelah ku. Ia langsung duduk di bangku tersebut. Aku melirik manyun ke arahnya, namun ia tersenyum ke arah ku. Dasar pria super duper aneh. Tiada kata-kata terucap antara aku dan Hanif maupun Desy saat perkuliahan berlangsung. Semua siswa di kelas mendengarkan sang Dosen mendongeng di depan kelas. Ada yang menggerak-gerakkan penanya seperti menulis tapi bukan menulis seperti apa yang tertulis di papan tulis. Ada yang menggambar monster aneh yang ku pikir itu mirip dengan Pak Panda. Mata kuliah ini terasa begitu lama dan sangat mendukung untuk tidur siang.
Akhirnya selesai juga perkuliahan hari ini. Lega sekali rasanya. Sekarang waktunya menyambut perut kosong dengan santap makan siang yang enak di kantin. 


 (...............bersambung....................)

Comments
0 Comments

0 komentar :

Posting Komentar